RSS

Rabu, 14 Mei 2014

Dosis



Untuk mendownload materi mengenai dosis Anda dapat mengunjungi alamat :
https://drive.google.com/file/d/0B1GdTg7viQtON3lHVmZBUGdadjA/edit?usp=sharing

Kapsul


Untuk mendownload materi mengenai kapsul Anda dapat mengunjungi alamat : https://drive.google.com/file/d/0B1GdTg7viQtOZng1cV9HdklEUlE/edit?usp=sharing

Capreomycin


Deskripsi 

Capreomycin adalah salah satu jenis antibiotik untuk mengobati tuberculosis (TBC). Obat ini biasa dikombinasikan dengan obat lain untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang menyebabkan TBC di dalam tubuh.


Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.
http://health.detik.com/readobat/909/capreomycin

Nevirapine



Deskripsi 

Nevirapine adalah obat yang digunakan dengan obat HIV lain untuk membantu mengendalikan infeksi HIV. Obat ini membantu mengurangi jumlah HIV dalam tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh dapat bekerja lebih baik. Penggunaan obat ini dapat menurunkan risiko komplikasi HIV (seperti infeksi baru, kanker) dan meningkatkan kualitas hidup.

Nevirapine milik kelas obat yang dikenal sebagai non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Tetapi, Nevirapine bukan obat untuk infeksi HIV melainkan hanya mengurangi risiko penyebaran penyakit HIV kepada orang lain.

Nevirapine tidak boleh digunakan untuk mencegah infeksi HIV setelah paparan yang disengaja (seperti jarum suntik, darah / kontak cairan tubuh). Berbeda dengan obat HIV yang digunakan untuk mencegah infeksi setelah paparan.

Nitisinone



Deskripsi 

Nitisinone digunakan untuk mengobati gangguan tyrosinemia jenis 1 (HT-1). HT-1 biasanya ditemukan pada bayi dan membutuhkan pengobatan seumur hidup. Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan zat alami tertentu yang diperlukan untuk memecah nutrisi (tirosin) yang ditemukan dalam makanan.

Efek ini menyebabkan penumpukan zat tirosin dan terkait dalam hati. Nitisinone bekerja dengan membantu mencegah pembentukan dan penumpukan zat beracun yang menyebabkan beberapa kerusakan pada hati, ginjal, dan sistem saraf. Obat ini harus digunakan bersama dengan diet rendah protein dan tirosin fenilalanin.

Budesonide



Deskripsi 

Budesonide adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan kondisi usus tertentu (seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa). Sementara budesonida tidak menyembuhkan kondisi ini, tetapi hanya dapat menurunkan gejala-gejala seperti nyeri dan diare. Budesonide adalah obat anti-inflamasi (hormon kortikosteroid) yang bekerja dengan mengurangi respon imun tubuh.

Kebiasaan Makan Orang Tua Membentuk Kebiasaan Makan Anak

Ditulis oleh Budi Sutomo













Anak belajar dari meniru, khususnya meniru orang-orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Karena itu apa yang dilakukan oleh orangtua biasanya akan ditiru oleh anak. Termasuk dalam kebiasaan makan. Seperti kebiasaan orang tua yang suka menyisihkan sayur saat makan. Lantas bagaimana sebenarnya sikap orang tua  yang benar ?
Disadari atau tidak, banyak orang tua yang secara tidak langsung memberikan contoh tidak baik terhadap anak-anak. Terutama kebiasaan di saat makan. Banyak orang tua yang makan berlebihan terutama saat mengonsumsi makanan kesukaan. Terkadang orang tua juga membeli makanan jajanan yang tidak sehat di depan anak-anak. Kebiasaan jajan makanan orang tua, akan ditiru oleh anak-anak. Begitu juga dengan kebiasaan menyisakan makanan atau menyisihkan makanan yang tidak disukai. Padahal bisa jadi makanan yang disisihkan ini justru mengandung nutrisi yang esensial bagi tubuh.
Ada banyak kebiasaan buruk kita soal makanan yang tentunya tidak baik jika sampai menurun ke anak. Mungkin orantua tanpa sadar melakukannya di depan anak, karena sudah menjadi kebiasaan.
Berikut ini adalah pengingat bagi Anda, beberapa kebiasaan makan yang sebaiknya tidak ada lakukan di depan si Kecil.
1.     Jangan mengonsumsi makanan kesukaan secara berlebihan; Kebiasaan ini akan dicontoh oleh anak. Konsumsi makanan tertentu yang berlebihan, apalagi jika makanan tersebut berupa junk food yang tinggi lemak, gula, dan garam akan berdampak negatif untuk kesehatan tubuh.
2.     Jangan jajan sembarangan; Mengonsumsi makanan jajanan yang sehat dan terjaga kebersihannya boleh-boleh saja. Namun terkadang orang tua seringkali tidak bisa menahan hasratnya untuk membeli jajanan pinggir jalan yang tidak higienis. Apa jadinya jika kebiasaan ini dicontoh oleh anak? Beragam penyakit seperti diare hingga keracunan makanan bisa terjadi jika jajan sembarangan. Belum lagi bahaya pewarna, pengawet dan penguat rasa yang dapat menggangu kesehatan anak.
3.     Jangan menyisakan makanan; Menyisakan makanan yang tidak disukai di atas piring memberi contoh yang tidak baik bagi anak. Kebiasaan ini bisa ditiru jika anak tidak menyukai rasa tertentu dari makanan. Kebiasaan ini dapat berakibat buruk terhadap kesehatan anak jika dilakukan terhadap bahan makanan yang mengandung nutrisi esensial bagi tubuh. Seperti tidak menyukai susu, sayuran, ikan, atau buah.
4.     Jangan mencela makanan; Ungkapan orang tua terhadap makanan tertentu seperti, “ makananya tidak enak, makanan ini berlendir, makanan ini pahit, atau makanannya terlalu lunak.” Kebiasaan mencela makanan di depan anak akan ditiru dan memberikan presepsi di dalam diri anak, bahwa kita boleh tidak menyukai makanan yang dianggap kurang enak. Padahal makanan yang dianggap kurang enak belum tentu buruk dilihat dari sisi nutrisi. Seperti pare yang pahit justru kaya vitamin dan mineral atau sayuran terung yang berlendir justru kaya nutrisi. Jadi berhati-hatilah dalam menunjukkan ekspresi ketidaksukaan di depan anak.
5.     Jangan memuji kualitas dan rasa makanan karena harganya mahal atau karena produk impor; Kebiasaan orang tua seringkali memberikan ekspresi berlebihan terhadap produk makanan yang mahal atau impor. Jika dilihat anak, presepsi mereka akan memandang sebelah mata akan produk lokal yang murah. Padahal untuk produk tertentu seperti sayuran dan buah, produk lokal justru lebih terjamin kesegarannya. Meskipun murah, kandungan sayuran dan buah lokal juga mengandung nutrisi yang sama baiknya.    
Memang terkadang sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah bertahun-tahun kita lakukan, tetapi tentu setiap orangtua ingin yang tebaik bagi si Kecil, bukan? Ayo mulai menerapkan kebiasaan makan yang sehat agar keluarga selalu mendapatkan yang terbaik.

Jangan Lupa Mengulang Imunisasi

Ditulis oleh Dr. Handrawan Nadesul

Keberhasilan imunisasi ikut menentukan kesehatan anak kelak sampai dewasa. Dengan imunisasi,anak sedikitnyaterlindungi dari 7 enis penyakit seperti hepatitis B, TBC, Polio, campak, tetanus, dan lainnya. Konvensi WHO menuntut setiap orangtua untuk memenuhi hak anak mendapatkan imunisasi. Selain imunisasi wajib, ada juga imunisasi yang dianjurkan. Selain itu, vaksinasi tak cukup hanya diberikan sekali saja, beberapa imunisasi perlu diberikan ulang atau yang sering disebutbooster. Kapanbooster diberikan kita bahas di sini.
JADWAL imunisasi bisa berubah-ubah di setiap negara, disesuaikan dengan perkembangan kondisi dan jenis penyakit yang tengah mengancam anak di negara tersebut. Kita tahu setelah memberikan imunisasi awal sebagai imunisasi dasar bagi anak, perlu dilakukan imunisasi ulang untuk memperkuat dan memperpanjang masa kebal terhadap penyakit agar anak penuh terlindungi.

Imunisasi wajib
Ada 8 jenis penyakit yang vaksinnya dijadikan imunisasi dasar di Indonesia, diantaranya Hepatitis B, TBC, Polio, Campak dan lainnya. Artinya semua anak sejak baru lahir sampai usia 3 tahun diwajibkan untuk menerimanya secara lengkap.
MENGABAIKANNYA BERARTI AKAN MENINGKATKAN ANGKA JATUH SAKIT, SELAIN ANCAMAN KEMATIAN OLEH PENYAKIT YANG SEBETULNYA BISA KITA CEGAH.
Berikut ini adalah imunisasi dasar bagi anak dan jadwal pemberiannya:
·         Hepatitis B diberikan awal kepada bayi baru lahir
·         BCG (untuk TBC) danpolio-1 diberikan saat anak berumur 1 bulan
·         DPT-1, polio-2, hepatitis B-2, dan HiB-1 (untuk radang paru) saat anak berumur 2 bulan
·         DPT-2,  polio-3, hepatitis B-3, dan HiB-2 saat anak berumur 3 bulan
·         HiB-3 saat anak menginjak usia 4 bulan
·         Campak (measles) diberikan pada anak umur 9 bulan
Diharapkan setelah mendapatkan imunisasi dasar, tubuh bayi membentuk kekebalan terhadap kedelapan jenis penyakit tadi. Tentunyatiap anak tak sama respons pembentukan kekebalan tubuhnya. Anak kurang gizi, atau sedang berpenyakit, lemah saja pembentukan kekebalannya. Tetapi normalnya, semua anak tubuhnya akan menjadi kebal.
Namun kekebalan itu bersifat aktif, artinya kekebalan yang dibentuk oleh tubuh anak ini belum terbentuk sempurna, sehingga perlu diberikan imunisasi ulang atau booster. Apabila ini tidak dilakukan, maka kekebalannya baru separuh jadi. Artinya anak belum terlindungi penuh terhadap kedelapan penyakit tadi, atau masih berisiko terserang penyakitnya.

Kapan imunisasi ulang diberikan?
Untuk imunisasi DPT, HiB dan hepatitis B diberikan setelah anak berumur 18 bulan. Pada saat anak berumur 2 tahun diberikan imunisasi campak ulangan, dan pada waktu berumur 3 tahun wajib diulang imunisasi DPT, hepatitis B, HiB, dan campak.
Kalau itu semua dipatuhi, niscaya anak akan terlindung secara penuh terhadap serangan sekian banyak penyakit, yang semuanya berisiko mematikan kalau anak dibiarkan lemah tanpa imunisasi. Maka imunisasi hendaknya tidak diabaikan.
SELAIN IMUNISASI WAJIB, ADA PULA JENIS IMUNISASI YANG DIANJURKAN. KALAU IMUNISASI WAJIB DIBERIKAN LAYANAN SECARA CUMA-CUMA OLEH PEMERINTAH, IMUNISASI YANG DIANJURKAN DILAKUKAN ATAS  PERMINTAAN SENDIRI.
Kita mengenal imunisasi MMR (gondong, campak, campak jerman); tifus, hepatitis A; PCV untuk radang paru olehpneumococcus; HPV (human papilloma virus) untuk anti kanker leher rahim yang diberikan setelah anak perempuan berumur 10 tahun; dan vaksinasi varicella (cacar air).
Untuk lebih praktisnya, agar anak tidak disuntik beberapa kali, kini telah tersedia satu suntikan vaksin untuk 5 penyakit (DPT+hepatitis B+ HiB) atau vaksin pentavalen. Baik imunisasi dasar maupun yang ulangan, anak tidak perlu menderita mengalami lebih dari satu kali suntikan.

Terapi Batuk Pilek di Rumah

Ditulis oleh Dr. Handrawan Nadesul

Beberapa kali mengalami batuk pilek dalam setahun dianggap lumrah. Namun jangan abaikan soal batuk pilek kalau tak ingin menjadi penyulit nantinya. Komplikasi batuk pilek bisa ke mana-mana. Menjadi radang telinga tengah salah satunya. Bagaimana terapi batuk pilek di rumah, kita bicarakan di bawah ini.
BATUK pilek awalnya disebabkan oleh virus. Ada sejumlah besar jenis virus penyebabnya, termasuk jenis yang ganas. Demam, nyeri kepala, rasa ngilu pada sendi, lalu keluhan di tenggorokan, dan hidung, merupakan gejala awalnya. Pada usia bayi dan anak biasanya disertai dengan diare juga. Diare pada anak bisa merupakan bagian dari radang pernapasan atas (ISPA).
Perlu beristirahat
Bukan obat, melainkan beristirahat yang merupakan obat utama batuk pilek, siapa pun dia. Mengapa? Karena apa pun jenis virusnya, seberapa pun ganasnya virus yang menyerang, tubuh yang akan melawannya. Agar tubuh kuat melawan virus yang memasuki tubuh, kondisi tubuh harus ditingkatkan. Salah satu caranya dengan membawanya beristirahat.
Seringkali kita menganggap enteng penyakit batuk pilek dan mengabaikannya. Sedang mengalami batuk pilek tetapi masih tetap masuk sekolah, masuk kantor, dan masih beraktivitas. Padahal sesungguhnya perlu dibawa tidur, dan tidak membiarkan anak bermain. Aktivitas fisik akan melemahkan tubuh. Kekebalan tubuh menjadi tak sekuat bila tubuh dibiarkan beristirahat.
UNTUK MENGUATKAN TUBUH PERLU MEMADAI ASUPAN MAKAN JUGA. TERLEBIH ASUPAN PROTEIN.
Agar tubuh kebal perlu berbagai jenis asam-amino, maka butuh menu berprotein tinggi, selain cukup buah-buahanan, sayur mayur, serta air minum. Susu juga merupakan sumber protein yang lengkap.
Hambatan yang biasanya muncul adalah pada kondisi demam tinggi, nafsu makan umumnya menurun. Upayakan supaya tetap tidak kekurangan nutrisi dan air minum, karena saat demam tinggi menyedot lebih banyak penguapan cairan tubuh.
Menghangatkan tubuh
Saat batuk pilek, tubuh berada dalam kondisi terkena dingin. Orang Inggris menyebutnya catch cold. Ketika tubuh terpapar dingin, ia menjadi lebih lemah. Kehujanan, berenang terlalu lama, berlama-lama di udara terbuka, cenderung melemahkan badan.  Kejadian batuk pilek sering diawali oleh kejadian ini. Maka di saat seperti itu, tubuh perlu dihangatkan.
Sehabis terpapar dingin, atau dalam kondisi lebih dingin dari biasa, badan perlu dihangatkan. Memilih minuman dan makanan yang lebih hangat, badan dibalur obat gosok, minyak telon, minyak kayuputih, dan dibungkus dengan pakaian hangat. Di awal batuk pilek, sop ayam hangat merupakan menu pilihan populer, selain juga wedang jahe.
Amati komplikasi
Ketika di awal batuk pilek, lendir batuk dan atau pilek masih bening encer. Belum perlu minum antibiotika seperti yang sering dikira orang. Pemberian antibiotika selama masih hanya virus penyebabnya merupakan sikap mubazir selain tidak rasional.
Komplikasi bisa juga mengenai kelenjar tonsil (tonsilitis atau amandel), pada yang mengidap asma, sesak napasnya bisa kumat, atau diperberat. Keseringan batuk pilek dibiarkan berlama-lama, berpotensi menjalar ke rongga sinus hidung memicu tumbuhnya polip selain radang sinus (sinusitis), dan atau radang kelenjar di sekitar hidung (adenoid).
Batuk pilek memang jangan diabaikan, agar tidak menimbulkan komplikasi. Tetapi tidak perlu juga terburu-buru menggunakan antibiotika. Kita bisa mengambil langkah-langkah bijak sebagai awal pengobatan batuk pilek di rumah. Selalu jaga kesehatan keluarga ya, Bu.***

Hati-Hati Simpan Obat, Anak Ini Overdosis Akibat Tablet Zat Besi Ibunya







Yorkshire , Penampilan obat yang mirip permen sering membuat anak salah kira. Oleh karena itu, menyimpan obat harus lebih berhati-hati. Rasa penasaran anak bisa berujung pada marabahaya, seperti yang terjadi pada anak ini.

Adalah Corbin Littlewood, balita berusia 16 bulan yang meninggal akibat salah mengira tablet zat besi sebagai permen milik ibunya. Padahal Claire Hockham, ibu Corbin, telah meletakkan obat itu di dalam rak kamar mandi jauh dari jangkauan ketiga anaknya. Wanita yang tinggal di Yorkshire Barat tersebut mengaku menderita anemia dan mengonsumsi pil penambah zat besi.

Ternyata tablet itu diambilkan oleh kakak perempuan Corbin yang juga masih balita. Bocah perempuan itu memanjat wastafel toilet untuk meraih pil dari kotak obat lantas memakannya bersama-sama Corbin. Baik Corbin dan kakak perempuannya sama-sama melahap beberapa butir obat.

Kedua balita tersebut lantas dibawa ke Calderdale Royal Hospital setelah sang ibu menemukan Corbin muntah-mutah. Dokter menemukan bahwa kadar zat besi di tubuh Corbin sangat tinggi dan bisa meyebabkan kerusakan fatal pada organ vitalnya. Berdasar pemeriksaan, dokter menemukan bahwa Corbin juga terkena varian virus flu H1N1 yang mematikan, atau yang dikenal sebagai flu babi.

Balita laki-laki itu kemudian diberi obat-obatan penguat otot jantung untuk menstabilkan tekanan darahnya yang terus melonjak, dan untuk membantu pernapasannya. Tetapi balita malang itu tak bisa diselamatkan, ia menghembuskan napas terakhirnya pada 24 Maret tahun lalu.

Pemeriksaan lebih lanjut menemukan bahwa bocah itu meninggal akibat kombinasi overodis dan flu babi. Ia mengalami bronkopneumonia dan kerusakan paru-paru yang disebabkan oleh perpaduan keracunan zat besi dan flu H1N1. 

Kakak perempuan Corbin, ia berhasil pulih karena kadar zat besi pada tubuhnya tak mencapai level berbahaya. 

Sergeant Stephen Barnes, detektif yang menangani kasus itu, mengatakan bahwa tablet zat besi sering kali salah dikira sebagai permen, terutama oleh anak-anak.

"Obat untuk anak biasanya berupa sirup. Jadi meski mereka tidak mengerti apa yang bisa diakibatkan oleh obat-obatan berbentuk tablet, mereka telah mengenal permen. Tablet zat besi terutama, terlihat persis seperti permen," ungkap pria itu.

"Saya menyampaikan bela sungkawa terdalam untuk orangtua Corbin. Kehilangan anak sekecil itu, tidak diragukan lagi, memang sangat tragis," ungkap Mary Burke, pemeriksa kasus, sebagaimana dikutip dari Daily Mail, Jumat (7/2/2014).

Paracetamol Pasca Imunisasi


Imunisasi merupakan hak anak paling dasar, terutama di Indonesia dimana terdapat berbagai macam bakteri dan virus yang siap menyerang buah hati kita. Imunisasi merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme tersebut. Karena itu, imunisasi pun menjadi santapan rutin anak Indonesia. Demikian juga konsumsi obat penurun panas untuk mencegah atau mengatasi demam yang muncul sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).

Pemberian parasetamol sebagai pencegah demam memang sering dilakukan oleh orangtua maupun dokter untuk mengurangi kekhawatiran orangtua terhadap timbulnya demam setelah imunisasi tersebut. Center for Disease Control and Prevention (CDC) pun menyebutkan bahwa hal ini bermanfaat terutama untuk anak yang memiliki risiko tinggi timbul kejang yang dicetuskan oleh demam tinggi.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada 459 bayi di Republik Ceko dan dimuat dalam jurnal kedokteran Lancet edisi 17 Oktober 2009, menunjukkan bahwa pemberian parasetamol pada 24 jam pertama setelah imunisasi memang efektif mencegah demam tinggi pada anak. Hanya 42% anak dalam grup yang diberikan parasetamol yang mengalami demam > 38°C setelah imunisasi, dibandingkan dengan 66% pada grup yang tidak mendapatkan obat.

Namun, dari penelitian tersebut juga ditemukan hubungan antara pemberian parasetamol dengan kadar antibodi spesifik dalam darah beberapa vaksin, seperti HiB, DPT, Hepatitis B, polio, dan pneumokokus. Anak yang diberikan obat tersebut memiliki kadar antibodi pelindung yang lebih rendah dibandingkan dengan pada grup yang tidak mendapatkan obat. Kadar tersebut tetap rendah secara signifikan pada grup ini walaupun telah diberikan vaksinasibooster sewaktu anak berusia 12 – 15 bulan.

Berdasarkan 10 penelitian lain mengenai pemberian vaksin, ditemukan juga bukti-bukti pendukung bahwa penggunaan parasetamol untuk mencegah demam sebagai KIPI dapat menekan respon sistem imun. Namun, hal ini tidak berlaku untuk pemberian obat tersebut untuk mengatasi demam yang memang sudah timbul.

Memang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai relevansi klinis penemuan ini, ujar Profesor Roman Prymula, ketua penelitian ini. Namun, ia menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian ini, “pemberian parasetamol sebagai pengobatan profilaksis (pencegahan) setelah imunisasi sebaiknya tidak direkomendasikan lagi tanpa menimbang dengan seksama antara keuntungan serta risikonya.”

Dengan adanya penelitian ini, orangtua maupun dokter di Indonesia berpikir lebih seksama dalam memberikan parasetamol untuk mencegah demam sebagai KIPI pada anak. Sebaiknya obat tersebut hanya diberikan jika memang sudah muncul gejala demam. Orangtua pun tidak perlu khawatir karena demam merupakan tanda bahwa sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa imunisasi yang dilakukan juga efektif sehingga merupakan reaksi yang wajar.

Kalbe.co.id

Membuat Tablet (Bagian 1)



MEMBUAT TABLET DENGAN KECEPATAN DISOLUSI ZAT AKTIF MAKSIMUM 
(Bagian 1 dari 3 Postingan)
FORMULASI TABLET

PENDAHULUAN

Disolusi secara umum didefinisikan sebagai proses melarutnya zat padat (dalam zat cair). Sedangkan tablet menurut Farmakope Indonesia edisi ketiga adalah sediaan padat, kompak, berbentuk silinder putih dengan kedua permukaan rata atau cembung, mengandung dalam jumlah tertentu satu atau beberapa jenis zat aktif dengan atau tanpa zat tambahan.

Disolusi zat aktif dalam sediaan tablet secara umum dipengaruhi oleh faktor yang menyangkut keadaan tablet itu sendiri dan faktor yang berhubungan dengan peralatan disolusi dan parameter pengujian disolusi.

Faktor yang mempengaruhi disolusi zat aktif dalam sediaan tablet yang menyangkut keadaan tablet itu sendiri meliputi:
a. Sifat-sifat fisikokimia zat aktif itu sendiri
b. Formulasi Tablet (pemilihan pengisi, pengikat, disintegran, lubrikan, zat tambahan lain)
c. Proses Pembuatan (metoda granulasi, gaya kompresi)

Faktor yang mempengaruhi disolusi zat aktif dalam sediaan tablet yang menyangkut peralatan dan parameter pengujian disolusi meliputi:
a. Pengadukan dan kecepatan pengadukan
b. Media disolusi (jenis, pH, viskositas, volume,’sink condition’, deaerasi, suhu dan tegangan permukaan)

Tulisan ini hanya membahas faktor yang mempengaruhi disolusi zat aktif dalam sediaaan tablet yang menyangkut keadaan tablet itu sendiri, dan pemilihan bahan untuk formulasi sehingga diperoleh tablet dengan kecepatan disolusi yang maksimum secara teoritis.

SIFAT-SIFAT FISIKOKIMIA ZAT AKTIF

Kelarutan Zat Aktif:
Kelarutan zat aktif (dalam media air) memegang peranan penting dalam disolusi. Sesuai dengan Rumus Noyes and Whitney yang dimodifikasi sebagai berikut:

R = dc/dt = k.DS/vh . [Cs – Ct] = k1 [Cs – Ct]

pada keadaan ‘sink condition’ persamaan di atas menjadi:

R = k2.Cs

Dimana R = kecepatan disolusi; D=koefisien difusi; S=total luas permukaan partikel ; v=volume media disolusi; h= tebal lapisan difusi; sedangkan k, k1 dan k2 adalah konstanta disolusi pada masing-masing persamaan di atas.

Dari persamaan R = k2 Cs bila dibuat plot antara R dan Cs harus diperoleh garis lurus dengan kemiringan = k2.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Hamlin, et al, pada 45 jenis zat dengan kelarutan yang berbeda disimpulkan bahwa kecepatan disolusi berbanding lurus dengan harga kelarutannya (dalam medium yang sama). Dan secara matematis ditemukan hubungan R = 2,24.Cs, yang berarti kecepatan disolusi berbanding lurus dengan 2,24 kali harga kelarutannya. Jadi kecepatan disolusi akan makin besar pada zat aktif yang harga kelarutannya dalam medium disolusi makin besar.

Pembentukan Garam:
Pembentukan garam merupakan suatu pendekatan yang umum dilakukan dalam usaha untuk meningkatkan kelarutan zat dan kecepatan disolusinya. Hasil studi yang dilakukan oleh Nelson menunjukkan bahwa kecepatan disolusi beberapa asam lemah lebih rendah dibanding kecepatan disolusi garam dari asam-asam lemah tersebut. Karena itu bila dalam formulasi sediaan tablet memungkinkan untuk memilih zat aktif dalam bentuk garamnya, maka ada kemungkinan akan diperoleh kecepatan disolusi yang lebih tinggi.

Ukuran Partikel:
Seperti diketahui kelarutan suatu zat bergantung pada ukuran partikel zat tersebut. Persamaan Ostwald-Freundlich sebagai menyatakan:

ln S sebanding dengan 1/r dimana S adalah kelarutan zat dan r adalah jari-jari ukuran partikel. 

Jadi log naturalis kelarutan berbanding terbalik dengan ukuran partikel. Bila ukuran partikel makin kecil (jari-jari kecil) maka harga ln S akan makin besar maka S (kelarutan) akan makin besar juga. Bila kelarutan makin besar maka diharapkan kecepatan disolusi akan bertambah besar pula. Karena itu untuk meningkatkan kecepatan disolusi zat aktif dari tablet bila memungkinkan perlu dilakukan pengecilan ukuran partikel zat aktif sampai tingkat yang mikro. Pengecilan partikel secara ekstrem ini tidak dapat dilakukan secara milling biasa tetapi harus dengan metoda khusus seperti mendispersikan zat aktif dalam pembawa yang larut air seperti larutan PVP.

Keadaan Kristal:
Karakteristik keadaan padat zat aktif seperti amorfisitas, kristalinitas, keadaan hidrasi, solvasi dan struktur polimorfik diketahui memberi pengaruh pada kecepatan disolusi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa bentuk anhidrat memiliki kelarutan yang lebih tinggi daripada bentuk hidratnya, hal ini terbukti pada ampisilin, kalsium sulfat dan teofilin, yang bentuk anhidratnya memiliki kelarutan lebih besar dari bentuk hidratnya, dengan demikian kecepatan disolusinya juga lebih tinggi dari bentuk hidratnya.

Polimorfisme:
Polimorfisme pada zat aktif diketahui potensial memberi perbedaan kecepatan disolusi pada setiap bentuk polimorfnya. Biasanya bentuk-bentuk polimorf memberi kecepatan disolusi lebih baik daripada bentuk stabilnya. Karena itu dalam usaha untuk meningkatkan disolusi zat aktif, bila memungkinkan dipilih bentuk polimorf yang diketahui memberikan kecepatan disolusi terbesar.

Membuat Tablet (Bagian 2)

 


MEMBUAT TABLET DENGAN KECEPATAN DISOLUSI ZAT AKTIF MAKSIMUM 
FORMULASI TABLET

Bahan Pengisi
Kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan tablet dapat dipengaruhi oleh bahan pengisi tablet yang digunakan. Pemakaian amilum sebagai bahan pengisi dengan konsentrasi 5-20% diketahui dapat meningkatkan kecepatan disolusi zat aktif karena adanya amilum berfungsi juga sebagai disintegran. Bila waktu hancur lebih cepat dapat diharapkan kecepatan disolusi juga meningkat. Underwood dan Cadwallader meneliti kemampuan beberapa jenis amilum dalam meningkatkan disolusi zat aktif dari sediaan tablet, dan hasilnya adalah kemampuan meningkatkan disolusi pada amilum kentang >amilum jagung>amilum garut (ararut)> amilum beras , bila pengujian disolusi menggunakan pengaduk tipe ‘stirring’. Sedangkan bila digunakan pengaduk tipe ‘oscillating’ maka kemampuan meningkatkan kecepatan disolusi pada amilum jagung>amilum beras>amilum garut>amilum kentang.

Disintegran
Disintegran adalah bahan yang digunakan untuk memecahkan tablet bila tablet terpapar pada lingkungan berair. Pemilihan disintegran yang baik umumnya akan mengantar pada peningkatan kecepatan disolusi. Secara umum dikenal enam golongan disintegran yaitu golongan amilum, ‘clay’, selulose, alginat, ‘gum’ dan lain-lain. Dari enam golongan itu ada yang dikenal dapat dipakai luas untuk berbagai macam zat aktif dan memberi waktu disintegrasi yang cukup pendek. Disintegran itu antara lain sodium starch glycolat (Primojel/Explotab), Starch 1500 (keduanya ini dari golongan amilum dengan beberapa modifikasi) dan Ac-Di-Sol yaitu sutu bentuk ‘crosslink’ dari karboksimetilselulosa natrium.Agar dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi harus dipilih disintegran yang memeberikan waktu hancur yang singkat tetapi juga cocok untuk zat aktif yang digunakan.

Lubrikan
Fungsi utama lubrikan adalah untuk mengurangi friksi pada antar partikel dan antara permukaan tablet dan dinding die selama pencetakan. Seringkali lubrikan juga berfungsi sebagai antiadherent dan glidan. Antiadherent itu untuk mencegah perlengketan ke punch dan dinding die. Sedang glidan untuk memperbaiki aliran granul/serbuk. Pemakaian lubrikan dan waktu pencampurannya yang tidak tepat dapat menurunkan efektivitas disintegran. Lubrikan hidrofobik seperti magnesium stearat akan membentuk film hidrofobik yang tipis di sekeliling eksipien tablet sehingga mencegah penetrasi air melewati pori tablet dan menunda disintegrasi tablet, dan biasanya hal ini dapat berpengaruh pada kecepatan disolusi zat aktifnya. Karena itu pemakaian lubrikan harus dalam jumlah yang tepat dan waktu pencampurannya dengan seluruh eksipien (serta zat aktif) harus dalam waktu yang tepat pula agar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap waktu hancur dan disolusi zat aktifnya. Sebaliknya Natrium Laurilsulfat bila digunakan sebagai lubrikan akan meningkatkan kecepatan disolusi zat aktif. Hal ini terutama karena natrium lauril sulfat meningkatkan pembasahan dan penetrasi pelarut ke dalam tablet dan granul sebagai akibat dari turunnya tegangan permukaan antara permukaan partikel tablet dan pelarut (media disolusi).

Umumnya dengan evaluasi berbagai faktor, golongan logam stearat (magnesium/kalsium/natrium) paling baik digunakan sebagai lubrikan asalkan dalam jumlah kecil (<1%) dan dicampur dengan matriks (bahan-bahan) tablet dalam waktu yang cukup singkat. Tetapi bila bila karakteristik disolusi dari zat aktif yang hidrofobik sangat ingin ditingkatkan maka bisa digunakan surfaktan seperti natriun lauril sulfat sebagai lubrikan.

Bahan Pengikat
Bahan pengikat adalah zat yang ditambahkan untuk menambah kohesivitas atau kualitas ikatan dari serbuk bahan tablet untuk menjamin tablet tidak mudah pecah sesudah pencetakan. Bahan pengikat digunakan pada tablet yang dibuat dengan metoda granulasi basah.Yang termasuk bahan pengikat adalah larutan gelatin, amilum, gula, gum alam (akasia, tragakan) dan gum sintetik (polietilen glikol, polivinilpirolidon, veegum dan karboksimetilselulosa).

Metoda granulasi basah diketahui dapat meningkatkan kecepatan disolusi zat aktif yang kurang larut dengan cara membuat permukaan partikel menjadi lebih hidrofilik. Solvgang dan Finholt meneliti disolusi granul fenobrbital, fenasetin dan prednisolon lebih baik dibanding disolusi serbuknya. Disamping itu terbukti bahwa disolusi tablet hasil pencetakan granulnya juga lebih baik dari disolusi granulnya. Hal ini disebabkan oleh karena tablet menjadi lebih mudah terbasahi dan kenyataan bahwa adanya deformasi granul selama pencetakan meningkatkan luas permukaan sehingga pembasahan menjadi lebih efektif lagi. Pemilihan bahan pengikat harus disesuaikan dengan zat aktif dan dalam jumlah tepat agar diperoleh kualitas pengikatan yang diinginkan tetapi tidak mempengaruhi kualitas disintegrasi tablet dan disolusi zat aktifnya.

Zat Tambahan Lain
Zat tambahan lain di sini misalnya adalah surfaktan, zat pewarna dan komponen salut. Ada kalanya dalam formula tablet ditambahkan surfaktan terutama untuk tablet yang memiliki sifat permukaan hidrofobik dan kelarutan kecil. Penambahan dalam jumlah kecil ( Penambahan dalam jumlah besar (>harga konsentrasi misel kritik) surfaktan berfungsi untuk meningkatkan kelarutan zat aktif dengan cara membentuk misel dengan zat aktif sehingga hal ini akan meningkatkan disolusi juga.

Ada kalanya tablet perlu diberi warna sehingga dalam formulanya ditambahkan zat warna yang larut air. Kadang-kadang adanya zat warna ini dapat menurunkan kecepatan disolusi zat aktif . Hal ini terjadi pada disolusi Sulfatiazol yang diketahui menurun dengan adanya FD&C Blue No.1. Efek pengurangan disolusi ini disebabkan oleh molekul zat warna teradsorpsi pada permukaan partikel zat aktif sehingga mengahalangi disolusinya. Karena itu perlu kehati-hatian pada penambahan zat warna pada formula tablet agar tidak terjadi pengaruh pada kecepatan disolusi zat aktifnya.

Komponen salut khususnya shellac (selulosa asetat ftalat) dapat memberi pengaruh yang signifikan pada kecepatan disolusi zat aktif dari tablet salutnya. Tetapi biasanya efek ini lebih disebabkan karena waktu hancur dan kelarutan zat salutnya daripada tablet intinya.

Teknologi Terbaru TDDS

Transdermal drug delivery looks for new frontiers
Peggy Wright, Contributing Editor  |  February 26, 2013
Microneedles and 'active' patches extend the reach of transdermal applications
 
Transdermal Drug patch
NuPathe’s Zecuity ionotophoretic patch (left) and a Theraject application (right). Credit: NuPathe, Theraject
The skin, the largest organ, effectively prevents passage of many foreign substances into the body. Passive transdermal products, such as patches and gels, creams, and sprays are able to pass some drugs through the skin at therapeutic rates to deliver drugs systemically. Drugs that are lipophilic, with low molecular weights and low dosages, can pass through the skin most easily. Not all small-molecule drugs, however, can do so; e.g., charged molecules. To enable delivery, products often use various passive technologies, including:
  • Particulate systems, such as liposomes, transfersomes (synthetic vesicles), microemulsions, or solid lipid nanoparticles
  • Chemical penetration enhancers, such as glycols and terpenes
The skin provides an effective barrier as well to large-molecule drugs, such as proteins and peptides, and this obstacle has led to efforts to develop physical or active methods of overcoming the skin barrier, including:
  • Microneedles—sharp microprojections, frequently in patch form
  • Iontophoresis—a weak, continuous electrical current
  • Electroporation—short, high-voltage pulses
  • Magnetophoresis—a magnetic field
  • Ultrasound—low intensity ultrasound
Passive patches still dominate the transdermal market. Despite years of effort, the movement of active technologies into the market has been slow, and few have reached the market or been successful. In May 2011, FDA approved Sanofi Pasteur’s microneedle-based product, an influenza-virus vaccine called Fluzone Intradermal. In January, FDA approved Zecuity (sumatriptan), a single-use, battery-powered, iontophoretic patch for treatment of migraine in adults, developed by NuPathe Inc. (Conshohocken, PA). These achievements may open the way for development of more drugs using active technologies.
 
Transdermal Revenue Chart
Fig. 1. Transdermal drug and technology market, 2010–2017. Credit: Kalorama Information
Historically, many transdermal products have delivered drugs that provide treatment for hormonal deficiencies, help with smoking cessation, or manage pain. In addition to Sanofi and NuPathe, two other pharmaceutical companies have recently developed new products that treat other types of medical conditions. In January 2009, FDA approved Watson Pharmaceuticals’ Gelnique (oxybutynin), a gel for the treatment of overactive bladder. Last April, FDA approved UCB’s Neupro (rotigotine), a transdermal patch, for treatment of Parkinson’s disease and restless legs syndrome.
 
In a market study published in September, Kalorama Information (New York) puts the current market for transdermal and transmucosal products at about $8.4 billion, with around $700 million being spent on the delivery technology. By 2017, the product value will be just over $10 billion, with delivery technology at $900 million (Fig. 1).
 
Pharmaceutical companies initially became interested in transdermal technology for systemic drug delivery because it: 1) avoids problems related to gastrointestinal passage and hepatic first-pass metabolism in which absorption in the liver and the gut wall reduces the amount of drug available for systemic delivery; i.e., its bioavailability; 2) offers a controlled, continuous delivery of drugs; 3) provides the option of delivery once or twice weekly; and 4) facilitates easy termination of the drug.
 
In addition to those benefits, companies have used the introduction of transdermal products as a method of extending the life cycle of products originally introduced in another form, such as capsules. Prior to entry of generic competitors into the market, a company can move the revenue base for its product from the original form to a transdermal solution. If patient acceptance is high, a barrier is created for generic products stuck with the original form of delivery.
 
Systemic and topical delivery
Transdermal technologies not only provide benefits for systemic drug delivery but also for local delivery of dermatological and cosmeceutical products, the latter not being subject to FDA’s stringent requirements regarding therapeutic effects. Transdermal delivery includes topical products such as gels that deliver drugs systemically, and many topical products are available for dermatological and cosmeceutical purposes. The skin is the common thread that unites systemic transdermal and local dermatological and cosmeceutical development, and many technology companies have sought partnerships with companies in all three fields. The cosmeceutical industry actually developed some of the technologies, and pharmaceutical companies later adopted them.
 
Given the benefits of passive and active technologies for local and systemic delivery, companies will continue to develop pharmaceutical, dermatological, and cosmeceutical products, and both passive and active technologies provide opportunities for development of marketable transdermal drugs.
 
Passive technologies
Nanotechnologies
Nanotechnologies seem to hold some hope of expanding the transdermal market. In 2010, NewGen BioPharma (Titusville, NJ) bought a transdermal platform, Micellar Nanoparticulates (MNP), from Novavax. That company had developed one transdermal product using MNP, Estrasorb (estradiol), which is currently on the market for treatment of symptoms of menopause. The platform improves the solubility and bioavailability of topically delivered products. Providing an increased residence time for an active pharmaceutical ingredient (API), the technology can reduce the dosage or the number of applications per day.
 
MNP offers a solution for delivery not only of systemic transdermal products but also of topical local, oral, injectable, and ophthalmic products. Navdeep Jaikaria, NewGen’s CEO, indicates that MNP gives NewGen the ability to reformulate 60% of all small-molecule drugs. The company also has a platform for delivery of inhaled products and is developing a technology for large-molecule peptides. These peptides must have a stable conformation that withstands the high pressure under which formulations are produced; Jaikaria adds that only GRAS-listed (Generally Recognized As Safe) additives are used.
 
Jaikaria has indicated that NewGen’s MNP platform holds promise for transdermal technology because it may improve patient acceptance of transdermal products. While common and well accepted in Asia, transdermal products such as patches can cause irritation and itching, and US consumers have not been as tolerant. NewGen’s nanoformulated, medicated lotions are nonirritating and are moisturizing rather than dehydrating, unlike patches in the first instance and gels in the second.
 
NewGen is developing its own pipeline of drugs, currently 20 APIs that it has reformulated using the MNP platform. This year NewGen plans to launch an ophthalmic and a topical drug in India as well as a reformulation of Estrasorb that keeps estrogen in the skin longer. NewGen has used its technology to develop cosmeceutical products as well, one for hair regrowth and an anti-aging cream.
 
The company will work with partners as a contract service provider, developing drugs using the platform. Jaikaria indicates that hormonal (steroidal) conditions, pain, urinary incontinence, erectile dysfunction, and smoking cessation are examples of the types of conditions that drugs using the platform can treat. The technology primarily permits delivery of small-molecule drugs, but Jaikaria says that it also will function with small peptides as long as conformation is not an issue. He says that any drug listed as BCS Class 2 (a measure of drug absorption), or that is poorly water-soluble, is a possibility for delivery.
 
Like NewGen, Particle Sciences, a Bethlehem, PA, contract development and manufacturing organization, sees nanoparticles as a standard drug-delivery option. The company can incorporate APIs into particles using its proprietary technologies, with the possibilities ranging from an emulsion droplet to a nanoparticle of the API itself, from tens of microns down to several nanometers. Particle Sciences also uses an in-licensed technology, LyoCell, which combines a lipid-based approach with nanoparticles, with the particles having unique solubilization properties.
 
Particle Sciences has focused on technologies for passive delivery of small-molecule drugs but has also developed a proprietary system for targeting large molecules. Rob Lee, VP, says that Particle Sciences has worked on all routes of drug delivery, including transdermal patches, but especially on topical, local and systemic formulations in creams, lotions and gels, and on mucosal formulations. Products have ranged from contraceptives to a head lice shampoo recently launched by a major pharma company. “Lately, we’ve seen a lot of interest in patches, beyond the typical amount,” he says. “Most are for typical transdermal products, such as drugs for hormonal products and pain management, but a few are for unusual, proprietary APIs.”
Lee adds that active technologies will be necessary for the delivery of other types of drugs, such as proteins and peptides. He believes that active technologies hold a lot of promise, in particular the use of them for development of antibody-based therapeutics and vaccines.
 
Chemical penetration enhancers
Xel™ Pharmaceuticals (Draper, UT) develops systemic transdermal drug systems (patches and topical formulations) that incorporate proprietary skin penetration enhancers (SPEs). The topical products also can provide local delivery of dermatological or cosmeceutical products. The company often works with partners for development of proprietary formulations.
 
Danyi Quan, Xel’s chief scientific officer (CSO), believes that local delivery of drugs and cosmeceuticals offers many prospects for marketable products currently, including new drugs that treat dermatological conditions, such as acne, psoriasis, and minor skin irritations, itching, and rashes caused by eczema. For example, topical hydrocortisone has been successful in treating skin irritation.
 
She indicates that some topical transdermal products have provided systemic drug delivery and have been successful in the marketplace, such as the testosterone gels that provide treatment of hormonal deficiencies. She thinks that pain management and hormonal treatments continue to be good areas for systemic transdermal delivery, whether in patches or creams and gels.
 
To grow the market for transdermal products, Quan believes that pharmaceutical companies must focus their efforts on three areas. “First, transdermal drugs offer many benefits over other methods of delivery, and we need to do drug discovery specifically to fit transdermal technology. Second, an opportunity exists to use botanical compounds to create new transdermal drugs (a specialty of Xel). Finally, scientists can use transdermal technologies to improve the efficacy of dermatological products.”
 
Active technologies
Microneedles
TheraJect, Inc. (Fremont, CA) has developed two patches with microneedles, DrugMat and VaxMat, intended for topical, transbuccal and transdermal delivery. The company manufactures the microneedles from a sugar polysaccharide, combining it with the drug and molding these components into sharp needles. The resulting product is inert and safe, and the needles dissolve with use, thereby avoiding issues of disposal and contamination. TheraJect will license its technologies to interested partners for both topical and transdermal products.
 
The company’s products first entered the market through the cosmeceutical industry. Sung-Yun Kwon, TheraJect’s CEO, indicates that a cosmeceutical product called ARTPE, an antiwrinkle eye patch, is using the company’s technology and is now selling in Malaysia and Hong Kong. TheraJect is looking for a distributor in the US. It is also currently negotiating with a Korean cosmetic company that plans to make 10 million patches per year using its technology.
 
TheraJect is currently developing a transdermal product for systemic delivery that appears likely to enter the marketplace, Sumatriptan for migraines. The National Science Foundation (NSF) has funded that development through small business grants in two phases, feasibility and commercialization. In the first phase, the NSF provided $150,000 for feasibility studies and accepted the product as feasible, making it one of only four products accepted in that funding cycle. The company is now in phase 2, for which the NSF has provided a half-million dollars for two years to move the product into commercialization. TheraJect is looking for a company to partner with them in this phase, and the NSF will match whatever amount the company is willing to invest.
 
Microneedles offer a solution for overcoming the barrier that the skin creates to delivery of drugs such as proteins, peptides and vaccines, which would mean that many more drugs could be formulated for transdermal delivery. “Protein drugs are very potent but permit use of a lower dosage,” Kwon says. “We can easily load drugs on microneedles that will penetrate the skin or buccal barrier.
 
Other companies are working on products that use microprojection systems. Zosano Pharma (Fremont, CA) is working with the ZP Patch, a sheet with metal microneedles to deliver select drug products with a similar pharmacokinetic profile as a subcutaneous injection. In October 2011, Zosano entered into collaboration with Asahi Kasei Pharma Corp. for the development, commercialization, and supply of Teribone (teriparatide acetate), an osteoporosis therapy. Zosano develops its own products and also will contract with partners to develop drugs that use the ZP Patch technology. The company indicates that the ZP Patch is capable of delivering a broad range of compounds, including peptides, proteins, small molecules, and vaccines.
 
In December 2012, 3M Drug Delivery announced a partnership for development and commercialization of a proprietary peptide analog to treat patients with osteoporosis at high risk of fracture. 3M has developed a microneedle platform, its Microstructured Transdermal Systems (MTS), and partners with companies to develop products.
 
Cosmetic Patch
Theraject’s technology as used in a cosmetic patch. Credit: Theraject
Iontophoresis and electroporation
Unlike TheraJect, Xel, and NewGen, NuPathe has not ventured into the cosmeceutical market. A small company, its primary focus since its inception eight years ago has been development of its iontophoretic system, SmartRelief. NuPathe’s Zecuity uses that proprietary, battery-powered technology, which involves application of a mild current to the skin through two pads. With FDA’s recent approval of Zecuity for the treatment of acute migraine, NuPathe’s priority is on scale-up for manufacturing, with the drug’s projected launch to be in the fourth quarter of 2013. The company is currently seeking partners to commercialize the product. NuPathe owns worldwide rights to Zecuity.
 
Jerry McLaughlin, NuPathe VP, says that iontophoresis best fits the delivery of drugs where the treatment demands building sufficient blood levels in a short time: “Passive delivery just doesn’t provide that capacity.” Zecuity delivers the migraine drug over a four-hour period and at a specified rate with low patient-to-patient variability. The microprocessor continuously monitors skin resistance and can adjust the current to deliver predefined doses.
 
McLaughlin believes that success for iontophoretic technologies requires choosing the right disease area and the right molecule, one that is difficult to deliver by other methods, has poor absorption in the gut, and can benefit from the use of an electric current to increase the speed or rate of delivery. McLaughlin says, “NuPathe’s eight years of experience creating SmartRelief and developing Zecuity has taught us that everything matters in product development—current, density, size, shape, and contact with the skin. Getting to this point has required a lot of experimentation.”
 
McLaughlin indicates that drugs that require delivery on a daily basis over an extended period of time (e.g., 24 hours per day) may not be ideal for iontophoretic technologies. Daily delivery in the same spot likely would not be good for the skin. The possible exception is a microdose. If the user can rotate the delivery site or if delivery occurs only once or twice per week, the drug may be a candidate for iontophoresis. As an example of an appropriate use, McLaughlin suggests development of drugs for treatment of rheumatoid arthritis as an alternative to the drugs currently delivered as injections every week or two. Iontophoretic technology may be a noninvasive option that could eliminate patients’ anxiety about self-administration of injections.
 
Other electrical devices are in development or on the market to provide treatment of specific diseases, including Travanti Medical’s Iontopatch (low voltage, continuous), an alternative to injection for treatment of tendinitis and Inovio’s electroporation (high voltage, short duration) for vaccine delivery. Those companies don’t currently license their technologies.