RSS

Rabu, 14 Mei 2014

Digoxin: Contoh Kasus Permasalahan Dalam Biofarmasetika


Digoxin digunakan dalam pengobatan melemahnya otot jantung pada penderita hipertensi dan CHF (Congestive Heart Failure) yaitu volume darah yang dipompa oleh jantung kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan baik oksigen maupun nutrisi bagi tubuh). Ini berarti obat ini digunakan pada kondisi life threatening (dipakai sepanjang umur hidup pasien).

Digoxin merupakan contoh obat yang memiliki masalah berkaitan dengan bioekivalensinya. As you know, theraprutic windows-nya (jendela terapinya) sempit artinya obat ini sangat poten, dosisnya hanya 0,25 mg/tablet), juga profil dosis responnya yang tajam. Obat ini termasuk kelas II dalam klasifikasi biofarmasetika yaitu obat dengan karakteristik kelarutan rendah dan permeabilitas baik sehingga menimbulkan masalah dalam formulasinya.

Upaya peningkatan kelarutan digoxin sangat diperlukan, sehingga perubahan formulasi sangat berpengaruh terhadap bioavaibilitasnya, padahal formulasi tiap pabrik berbeda-beda so penting sebagai farmasis kita harus mempertimbangkan bioekivalesinya.

Perbedaan pabrik yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan terjadinya perbedaan bioavaibiltas (karena absorbsi berbeda) dari digoxin karena raw material yang digunakan untuk memproduksi dapat berasal dari supplier yang berbeda, sehingga memungkinkan adanya perbedaan sifat fisikokimianya. Perbadan batch produksi juga dapat memberikan perbedaan bioavaibilitas dari digoxin. Pabrik yang sama saja belum tentu tablet digoxin yang diprodukssi bioekivalen kalau bahan bakunya bersal dari batch yang berbeda. Nah lo, rumit banget ya bikin obat yang safe untuk pasien. Jadi kepikiran gak ntar gimana di lapangan? So manfatkan PKL untuk mancari ilmu, apa-apa yang pengen kita tahu dicatet dari sekarang. Oke.

Perbedaan industri farmasi yang memproduksi tablet digoxin dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari apabila akan melakukan penggantian atau substitusi tablet digosin ke pasien yang sudah stabil pada penggunaan digoxin dari pabrik tertentu. Karena sangat mungkin kedua produk tersebut bio-inekivalen. Apalagi umunya digoxin digunakan pada kondisi life threatening.

Obat dari batch atau lot yang berbeda menandakan adanya perbedaan dalam hal formulasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan absorbsi, akibatnya berbeda juga bioavaibilitasnya. Selain theraprutic window yang sempit dan profil dosis responnya tajam, sifat fisika kimia digoxin juga menyebabkan bioavaibilitasnya sangat dipengaruhi oleh variabel formulasi dan perubahan konsentrasi obat dalam darah akibat perubahan dari absorbsinya.

Dari gambaran di atas, maka untuk menyeleksi produk digoxin dari beberapa pabrik merupakan proses yang krusial sehingga data BA dan BE sangat diperlukan untuk diketahui. FDA di tahun 1974 menyaratkan BABE comparative sebagai akibat munculnya kasus pengubahan bahan pengisi fenitoin menggunakan laktosa di Australia , yang meningkatkan toksisitas dari fenitoin dan kasus talidomid di Eropa yang menyebabkan teratogenik. BABE comparative ini oleh FDA dimaksudkan untuk mengeliminasi masalah bio-inekuivalensi di antara satu produk, makanya perlu sertifikasi batch. Caranya bagaimana? Tunjukkan aja data uji disolusinya. Tapi ternyata ada syarat lain yaitu produk digoxin harus disertai hasil uji BA comparative pakai cross over design sebagai akibat yang tadi, beda batch meskipun masih satu pabrik memungkinkan terjadi perbedaan profil BA yang signifikan. Di USA, jika terjadi perubahan formulasi yang kecil tidak perlu melakukan uji BA apabila sudah memiliki data korelasi in vivo- in vitro atau SUPAC (Skilll up, Push, Approval, Change).

Berikut beberapa sediaan Digoxin. Harap pasien “titen” terhadap obat yang biasanya diminum (hapalkan merek-nya).
Digoxin NI – Novartis Indonesia
Digoxin Sandoz – Sandoz
Fargoxin – Fahrenheit, selain tablet juga tersedia (ampul) 0.5 mg/2 mL
Lanoxin – GlaxoSmithKline
Inilah salah satu manfaat belajar ilmu farmasi. Proficiat Farmasi Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar