Suatu ketika, saat sedang melaksanakan pelayanan sebagai seorang apoteker di apotek Instalasi Farmasi Rumah Sakit, saat itu saya masih bertugas di sana. Ada pasien seorang remaja, perkiraan saya sekitar umur 15 atau 17 tahun, dengan wajah lusuh dan mata merah serta nada bicara lemah seperti kita mengajak bicara pada orang yang antara tidur dan tidak, ingin membeli obat batuk golongan antitusif atau penekan batuk yaitu dekstrometorfan. Karena secara visual saya melihat remaja ini berhadapan dengan saya tidak mengalami batuk, serta khawatir terhadap penyalahgunaan obat ini, saya tidak menjual obat tersebut walaupun obat tersebut bisa di beli tanpa resep dokter atau biasa disebut obat bebas terbatas.
Pembaca setia tabloid Gerak mungkin pernah mendengar kasus penyalahgunaan obat batuk yang mengandung dekstrometorfan yang belakangan cukup meresahkan. Penyalahgunaan obat batuk ini bahkan ada yang sampai menyebabkan kematian karena penggunaannya yang overdosis. Dengan harga yang murah serta dapat diperoleh dengan mudah, obat yang di jual secara bebas terbatas ini atau bisa diperoleh tanpa resep dokter di toko obat dan apotek, membuat obat ini menjadi sasaran penyalahgunaan khususnya remaja yang menginkan efek seperti euforia dan halusinasi penglihatan dan pendengaran ketika digunakan dalam dosis besar. Halusinasi sendiri terjadi karena dibloknya fungsi kesadaran di dalam otak dan saraf sehingga akan membuat sipemakainya berhalusinasi seperti berada di dalam mimpi dan sukar membedakan antara nyata tidaknya halusinasi tersebut. Sebenarnya apa obat batuk dekstrometorfan ini ?
Dekstrometorfan adalah zat aktif yang berkhasiat sebagai antitusif atau penekan batuk. Zat akti ini selain banyak digunakan dalam obat batuk tunggal juga digunakan pada obat flu kombinasi dengan zat aktif lain seperti fenilefrin, parasetamol dan klorfeniramin maleat. Obat batuk yang mengandung dekstrometorfan tersedia di pasar dalam berbagai bentuk sediaan seperti sirup, tablet, spray dan lozenges.
Selain mudah dan murahnya obat ini diperoleh. Sebagai contoh untuk sedian tablet dalam bentuk tunggal bila merujuk SK Menkes No 092 Tahun 2012 dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) 14.850 rupiah dengan isi satu boks 10×10 tablet atau 1.485 rupiah setiap kepingnya apabila kita buat lebih kecil lagi setiap tabletnya hanya 148,5 rupiah. Hal lainnya karena persepsi dalam masyarakat yang menganggap obat ini aman digunakan karena di jual secara bebas. Stigma aman ini bisa dimungkinkan menjadi salah satu penyebab ada oknum masyarakat yang melakukan penyalahgunaan obat ini, karena merasa tidak khawatir atau mengganggap efek terhadap kesehatan dan keselamatan yang bisa mengancam jiwa mereka relatif kecil terjadi, walaupun dikonsumsi dalam jumlah dosis yang besar. Padahal bila dikonsumsi dalam dosis besar obat ini bisa menyebabkan over dosis yang dapat menyebabkan hiper-eksitabilitas, kelelahan, berkeringat, bicara kacau, hipertensi dan mata melotot (nystagmus). Apalagi jika digunakan bersama alkohol efeknya sangat berbahaya dan bisa menyebabkan kematian.
Dosis lazim dekstrometorfan atau dosis yang biasa digunakan sebagai pedoman umum pada pengobatan, untuk dewasa dan anak diatas 12 tahun adalah 10 mg-20 mg tiap 4 jam atau 30 mg tiap 6-8 jam, atau tidak lebih dari 120 mg dalam satu hari.Pada penyalahgunaan yang sering terjadi penggunanannya bisa 5-10 kali lebih besar dari dosis lazim. Dapat digambarkan akumulasi dekstrometorfan dapat menimbulkan efek psikotropik, yang dibagi dalam 4 tingkatan, diantaranya dosis 100-200 mg akan timbul efek stimulasi ringan, dosis 200-400 mg timbul efek euforia dan halusinasi, dosis 300-600 mg timbul efek perubahan pada penglihatan dan kehilangan koordinasi motorik, dosis 500-1500 mg timbul efek sedasi disosiatif (perasaan jiwa dan raga berpisah).
Begitu besarnya akibat penyalahgunaan obat ini, sehingga menimbulkan wacana untuk memasukkan obat ini ke dalam obat yang hanya bisa diperoleh dengan menggunakan resep dokter. Khususnya untuk dekstrometorfan dalam sediaan tunggal. Sebenarnya pendapat ini sangat beralasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan obat ini. Akan tetapi ada baiknya saya berpendapat dekstrometorfan tetap di golongkan obat bebas seperti saat ini, mengingat sebenarnya obat ini bisa digunakan untuk pengobatan swa medikasi atau pengobatan mandiri oleh masyarakat untuk penyakit ringan tanpa harus pergi ke dokter. Adapun untuk pencegahan sebaiknya peran aktif Pemerintah baik Pusat melalui Kementerian Kesehatan atau Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesehatan terus menerus melakukan sosialisasi akan bahaya penyalahgunaan obat ini, Tempat pelayanan kesehatan seperti apotek dan toko obat harus juga memperketat penjualan secara selektif, mungkin bisa dilakukan seperti dengan melihat secara visual apakah pengguna obat memang memiliki penyakit batuk atau tidak, serta lebih aktif lagi melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang bisa di selipkan informasi tentang bahayanya jika obat disalahgunakan atau penggunaan yang salah. Apotek dan toko obat juga harus membatasi penjualan, tidak dalam jumlah yang banyak. Masyarakatpun harus ikut mengawasi dan mengingatkan khususnya para orang tua karena penyalahgunaan ini banyak terjadi pada remaja, sehingga penyalahgunaan obat dikalangan remaja khususnya dapat di tekan dan besar harapannya tidak terjadi lagi.
Penulis : Sofan Wahyudi,S.Si,Apt,MPH
0 komentar:
Posting Komentar